Gus
Dur pernah menyatakan begini: “Kalau negara ini negara Pancasila,
siapapun yang mampu memimpin suatu lembaga atau instansi, tidak perlu
jadi masalah. Pendekatannya pada prestasi dan kemampuan, entah dia itu
orang Islam atau orang Kristen. Ini mestinya!”
Pernyataan
mantan presiden RI ini disampaikan dalam sebuah forum latihan
kepemimpinan pemuda NU Jawa Timur pada 13 November 1985. Meski sudah 22
tahun berlalu, pernyataan di atas, menurut saya, masih relevan dengan
perilaku bangsa kita saat ini. Persoalan diskriminasi agama yang
disinggung Gus Dur hanyalah satu diantara berbagai kasus diskriminasi
lainnya seperti etnik, suku, golongan, dan ras yang masih tumbuh subur
di negeri ini.
Sebagai
contoh, dalam sebuah instansi, kalau kepalanya orang Kristen,
bawahannya kebanyakan orang Kristen. Kalau kepalanya orang Islam, masih
harus ditanyakan, Islam KTP atau santri. Masih ditanya lagi, NU atau
Muhamadiyah, aliran sempalan atau bukan? Sama halnya ketika kepalanya
orang Jawa, Batak, Flores, Betawi, Madura, keturunan Tionghoa dan lain
sebagainya. Bawahannya kebanyakan orang yang berasal dari satu
daerah/suku. Dan isu ini selalu menjadi senjata calon pemimpin ketika
kampanye. Nah, kebiasaan dan contoh buruk kaum tua ini jangan sampai
ditiru kaum muda.
Titik
tolak yang disampaikan Gus Dur juga dapat dirumuskan secara lain.
Indonesia yang telah berusia 62 tahun ini dibangun atas paham
kebangsaan. Yang menjadi kriteria pokok siapa orang Indonesia bukanlah
suku, keturunan, atau agamanya, tetapi kebangsaannya sebagai orang
Indonesia. Hal ini menjadi jelas jika kita membandingkan dengan negara
yang dasarnya bukanlah kebangsaan melainkan suku bangsa, ras, atau
agama.
Jika
misalnya dasarnya suku atau ras, maka yang bukan dari suku dan ras itu
bukanlah warga negara yang penuh. Demikian pula, jika dasarnya adalah
agama. Maka orang yang tidak beragama sama, juga bukan warga negara.
Jika toh diterima juga sebagai warga negara, ia adalah warga negara yang
dibedakan.
Di
Indonesia yang paham dasarnya adalah kebangsaan, setiap orang
Indonesia, setiap warga negara Indonesia adalah orang Indonesia yang
sama penuh kewarganegaraannya dan sama penuh martabatnya sebagai manusia
Indonesia. Tidak boleh dibeda-bedakan. Entah itu mayoritas atau
minoritas.
Israel
adalah contoh suatu negara yang dasarnya ras dan agama sekaligus.
Warga negara Israel yang bukan Yahudi dan bukan beragama Yahudi, bukan
warga negara penuh.
Negara
yang berpaham demikian mengandung potensi untuk melakukan
diskriminasi. Karena itu, negara yang berpaham kebangsaan lebih maju
dan lebih manusiawi daripada negara yang berpaham suku, ras, ataupun
agama.
Nah,
mengacu pada pemikiran di atas, kehendak dan keputusan untuk menjadi
bangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu tanpa embel-embel SARA yang
telah dikumandangkan kaum muda pada 28 Oktober 1928 merupakan langkah
awal yang cukup tepat dalam meletakan pondasi bangunan bernama
Indonesia. Peristiwa monumental yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda
ini akhirnya mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945 ketika bangsa
Indonesia memproklamirkan diri sebagai bangsa yang satu, merdeka dan
berdaulat.
Ikrar
suci Sumpah Pemuda ini merupakan wujud nyata cinta dan perjuangan kaum
muda terhadap bangsa ini. Dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati,
mereka mampu melepaskan keragaman jubah individualistik, etnik,
golongan, maupun agama dan kemudian melebur menjadi satu dalam naungan
payung Indonesia. Dosa besar kalau kita menghianati atau mengingkarinya.
Memasuki
usianya ke-79, Sumpah Pemuda yang sudah tak muda lagi ini harus tetap
berdarah dan berjiwa muda. Berjuang tulus penuh semangat demi
kepentingan bangsa. Peristiwa nan agung ini harus senantiasa kita
teladani bahwasanya, kaum muda jaman itu telah berhasil melakukan
pengenalan satu sama lain. Mereka mampu mendefenisikan diri dan
merobohkan sekat-sekat primordialisme, keangkuhan etnis, dan fanatisme
agama.
Namun,
apa yang kita saksikan setelah itu (saat ini)? Masih terjadi
kecendrungan sentripetal dalam bentuk pergerakan daerah, gejolak daerah,
gejolak separatis, dan gejolak hasrat menggantikan paham dasar negara.
Sikap saling curiga dan saling memojokan masih tetap terpelihara.
Rasanya, tiada lagi orang Indonesia dan daerah Indonesia yang tidak
sepenuhnya merasa sebagai orang Indonesia dan sebagai bagian integral
dari bangsa dan negara Indonesia.
Dari
sana, apa yang menjadi tanggung jawab kita sebagai kaum muda? Pertama,
kita perlu memasyarakatkan dan memahamkan secara kreatif, kritis, dan
positif apa yang dimaksudkan: Pancasila sebagai asas tunggal untuk
perikehidupan berbangsa dan bernegara, berikut implikasi-implikasinya
bagi masyarakat, dan juga pemerintah.
Kedua,
melaksanakan apa yang dikemukakan Gus Dur di atas: orang Indonesia
adalah orang Indonesia atas dasar dan pilihan kebangsaannya, bukan atas
dasar suku, ras, ataupun agama.
Ketiga,
mempraktekan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam keseharian kita dengan
saling mengenal lebih dekat antara pribadi maupun kelompok satu dengan
yang lain. Jika Anda orang Jawa, sudah sejauh mana Anda mengenal
bangsamu yang di Sumatra, Bali, Flores, Papua, Sulawesi, Ambon, dan
lainnya. Jika Anda seorang Kristen, sejauh mana Anda mengenal dan
menghargai sesama sebangsa yang non Kristen. Jika Anda seorang perantau,
sedekat apa Anda mengenal tetangga dan budaya di lingkungan di mana
Anda berada.
Sama
halnya, jika Anda seorang aktivis OKP/mahasiswa, sejauh mana Anda
menjalin hubungan baik dan saling menghargai aktivis/mahasiswa di lain
jurusan, lain kampus, lain OKP, atau lain UKM.. Jika Anda seorang pemuda
kota yang kaya dan modis, sejauh mana Anda memperhatikan dan
menghargai pemuda desa yang sederhana.
Secara
rasional, semua itu jelas dan karena itu juga akan mudah dilaksanakan.
Namun, berdasarkan fakta, persoalan itu tidak hanya rasional, tetapi
juga emosional, kultural, ekonomis, dan lain-lain.
Karena
itu, pelaksanaannya tidak semudah pandangan rasional yang jernih,
konsisten, dan jernih. Diperlukan waktu, tetapi yang lebih penting lagi,
diperlukan kemauan dan konsistensi kaum muda.
Prakarsa
itu menjadi tanggung jawab kaum muda untuk terus mengingatkan
pemerintah, masyarakat, dan kaum tua. Karena, seringkali terjadi, oknum
pemerintah dan unsur pimpinan masyarakat atau golongan, bukannya
menggerakan masyarakat ke arah kemajuan sesuai paham dasar Pancasila dan
kebangsaan, tetapi justru mengeksploitasinya atau menjadikan bahan
manuver untuk tujuan-tujuan yang tidak mulia dan memecah-belah keutuhan
bangsa. Nah, tugas kaum muda adalah “menjewer kuping” orang-orang tua
yang tidak konsisten itu.
Sebagai
calon pemimpin dan penentu arah bangsa ini, kaum muda harus terus
meneladani niat tulus dan perjuangan para pendahulu. Hal yang paling
mudah kita lakukan adalah dengan mencintai kebhinekaan! *(Fransiskus Uba Ama)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar