Senin, 08 Oktober 2012

Sumpah Pemuda dan Integrasi Nasional

Gus Dur pernah menyatakan begini: “Kalau negara ini negara Pancasila, siapapun yang mampu memimpin suatu lembaga atau instansi, tidak perlu jadi masalah. Pendekatannya pada prestasi dan kemampuan, entah dia itu orang Islam atau orang Kristen. Ini mestinya!”
Pernyataan mantan presiden RI ini disampaikan dalam sebuah forum latihan kepemimpinan pemuda NU Jawa Timur pada 13 November 1985. Meski sudah 22 tahun berlalu, pernyataan di atas, menurut saya, masih relevan dengan perilaku bangsa kita saat ini. Persoalan diskriminasi agama yang disinggung Gus Dur hanyalah satu diantara berbagai kasus diskriminasi lainnya seperti etnik, suku, golongan, dan ras yang masih tumbuh subur di negeri ini.
Sebagai contoh, dalam sebuah instansi, kalau kepalanya orang Kristen, bawahannya kebanyakan orang Kristen. Kalau kepalanya orang Islam, masih harus ditanyakan, Islam KTP atau santri. Masih ditanya lagi, NU atau Muhamadiyah, aliran sempalan atau bukan? Sama halnya ketika kepalanya orang Jawa, Batak, Flores, Betawi, Madura, keturunan Tionghoa dan lain sebagainya. Bawahannya kebanyakan orang yang berasal dari satu daerah/suku. Dan isu ini selalu menjadi senjata calon pemimpin ketika kampanye. Nah, kebiasaan dan contoh buruk kaum tua ini jangan sampai ditiru kaum muda.
Titik tolak yang disampaikan Gus Dur juga dapat dirumuskan secara lain. Indonesia yang telah berusia 62 tahun ini dibangun atas paham kebangsaan. Yang menjadi kriteria pokok siapa orang Indonesia bukanlah suku, keturunan, atau agamanya, tetapi kebangsaannya sebagai orang Indonesia. Hal ini menjadi jelas jika kita membandingkan dengan negara yang dasarnya bukanlah kebangsaan melainkan suku bangsa, ras, atau agama.
Jika misalnya dasarnya suku atau ras, maka yang bukan dari suku dan ras itu bukanlah warga negara yang penuh. Demikian pula, jika dasarnya adalah agama. Maka orang yang tidak beragama sama, juga bukan warga negara. Jika toh diterima juga sebagai warga negara, ia adalah warga negara yang dibedakan.

Di Indonesia yang paham dasarnya adalah kebangsaan, setiap orang Indonesia, setiap warga negara Indonesia adalah orang Indonesia yang sama penuh kewarganegaraannya dan sama penuh martabatnya sebagai manusia Indonesia. Tidak boleh dibeda-bedakan. Entah itu mayoritas atau minoritas.

Israel adalah contoh suatu negara yang dasarnya ras dan agama sekaligus. Warga negara Israel yang bukan Yahudi dan bukan beragama Yahudi, bukan warga negara penuh.
Negara yang berpaham demikian mengandung potensi untuk melakukan diskriminasi. Karena itu, negara yang berpaham kebangsaan lebih maju dan lebih manusiawi daripada negara yang berpaham suku, ras, ataupun agama.

Nah, mengacu pada pemikiran di atas, kehendak dan keputusan untuk menjadi bangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu tanpa embel-embel SARA yang telah dikumandangkan kaum muda pada 28 Oktober 1928 merupakan langkah awal yang cukup tepat dalam meletakan pondasi bangunan bernama Indonesia. Peristiwa monumental yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda ini akhirnya mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945 ketika bangsa Indonesia memproklamirkan diri sebagai bangsa yang satu, merdeka dan berdaulat.
Ikrar suci Sumpah Pemuda ini merupakan wujud nyata cinta dan perjuangan kaum muda terhadap bangsa ini. Dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati, mereka mampu melepaskan keragaman jubah individualistik, etnik, golongan, maupun agama dan kemudian melebur menjadi satu dalam naungan payung Indonesia. Dosa besar kalau kita menghianati atau mengingkarinya.

Memasuki usianya ke-79, Sumpah Pemuda yang sudah tak muda lagi ini harus tetap berdarah dan berjiwa muda. Berjuang tulus penuh semangat demi kepentingan bangsa. Peristiwa nan agung ini harus senantiasa kita teladani bahwasanya, kaum muda jaman itu telah berhasil melakukan pengenalan satu sama lain. Mereka mampu mendefenisikan diri dan merobohkan sekat-sekat primordialisme, keangkuhan etnis, dan fanatisme agama.

Namun, apa yang kita saksikan setelah itu (saat ini)? Masih terjadi kecendrungan sentripetal dalam bentuk pergerakan daerah, gejolak daerah, gejolak separatis, dan gejolak hasrat menggantikan paham dasar negara. Sikap saling curiga dan saling memojokan masih tetap terpelihara. Rasanya, tiada lagi orang Indonesia dan daerah Indonesia yang tidak sepenuhnya merasa sebagai orang Indonesia dan sebagai bagian integral dari bangsa dan negara Indonesia.

Dari sana, apa yang menjadi tanggung jawab kita sebagai kaum muda? Pertama, kita perlu memasyarakatkan dan memahamkan secara kreatif, kritis, dan positif apa yang dimaksudkan: Pancasila sebagai asas tunggal untuk perikehidupan berbangsa dan bernegara, berikut implikasi-implikasinya bagi masyarakat, dan juga pemerintah.

Kedua, melaksanakan apa yang dikemukakan Gus Dur di atas: orang Indonesia adalah orang Indonesia atas dasar dan pilihan kebangsaannya, bukan atas dasar suku, ras, ataupun agama.

Ketiga, mempraktekan semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam keseharian kita dengan saling mengenal lebih dekat antara pribadi maupun kelompok satu dengan yang lain. Jika Anda orang Jawa, sudah sejauh mana Anda mengenal bangsamu yang di Sumatra, Bali, Flores, Papua, Sulawesi, Ambon, dan lainnya. Jika Anda seorang Kristen, sejauh mana Anda mengenal dan menghargai sesama sebangsa yang non Kristen. Jika Anda seorang perantau, sedekat apa Anda mengenal tetangga dan budaya di lingkungan di mana Anda berada.

Sama halnya, jika Anda seorang aktivis OKP/mahasiswa, sejauh mana Anda menjalin hubungan baik dan saling menghargai aktivis/mahasiswa di lain jurusan, lain kampus, lain OKP, atau lain UKM.. Jika Anda seorang pemuda kota yang kaya dan modis, sejauh mana Anda memperhatikan dan menghargai pemuda desa yang sederhana.

Secara rasional, semua itu jelas dan karena itu juga akan mudah dilaksanakan. Namun, berdasarkan fakta, persoalan itu tidak hanya rasional, tetapi juga emosional, kultural, ekonomis, dan lain-lain.

Karena itu, pelaksanaannya tidak semudah pandangan rasional yang jernih, konsisten, dan jernih. Diperlukan waktu, tetapi yang lebih penting lagi, diperlukan kemauan dan konsistensi kaum muda.

Prakarsa itu menjadi tanggung jawab kaum muda untuk terus mengingatkan pemerintah, masyarakat, dan kaum tua. Karena, seringkali terjadi, oknum pemerintah dan unsur pimpinan masyarakat atau golongan, bukannya menggerakan masyarakat ke arah kemajuan sesuai paham dasar Pancasila dan kebangsaan, tetapi justru mengeksploitasinya atau menjadikan bahan manuver untuk tujuan-tujuan yang tidak mulia dan memecah-belah keutuhan bangsa. Nah, tugas kaum muda adalah “menjewer kuping” orang-orang tua yang tidak konsisten itu.

Sebagai calon pemimpin dan penentu arah bangsa ini, kaum muda harus terus meneladani niat tulus dan perjuangan para pendahulu. Hal yang paling mudah kita lakukan adalah dengan mencintai kebhinekaan! *(Fransiskus Uba Ama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar